[OPINI] Mengapa Gamer Indo Ngerasa Miskin Beli Game Ori, Tapi Doyan Beli Skin Mahal–_1

Tiap negara miliki selera gaming yang berbeda-beda. Gamer Jepang selalu dahulukan game keluaran dalam negeri terlebih dahulu serta dominan akan game portable, gamer barat tidak pernah senggan keluarkan $60 dari dompet untuk game keluaran terbaru untuk console terkini atau PC mereka. Sedangkan untuk di Cina sendiri, game terpopuler yang di negara tersebut ialah game-game free-to-play dan mereka tak terbebani dengan microtransaction yang game tersebut suntikkan bahkan jika sifatnya merugikan pemain gratisan alias pay-to-win.

Gamer Indonesia pada dasarnya miliki selera yang sama dengan di China. Hanya saja Cina memiliki budaya tersebut karena console memang sempat diblokir selama satu dekade lebih, membuat internet kafe alias warnet menjadi alternatif terbaik bagi gamer disana. Sedangkan di Indonesia, sepengetahuan saya tidak ada pemblokiran semacam itu. Console game selalu masuk ke toko-toko game lokal termasuk juga game-game originalnya, tetapi dasaran kita sendiri yang masih terlalu senggan untuk membelinya dan lebih mendukung bisnis free-to-play. Komentar dari pengguna Facebook satu ini mungkin menjadi penjelasan singkat dan akurat atas kondisi pasar game Indonesia sekarang.

Hampir seluruh pemain game free-to-play pasti pernah setidaknya sekali keluarkan uang untuk membeli item microtransaction di game. Entah apa item tersebut hanya kosmetik semata atau dapat memberikanmu efek positif, terkadang kita seakan diluar kontrol telah layangkan uang kita untuk item virtual tersebut. Tak jarang orang rela habiskan berjuta-juta untuk skin dengan sedikit efek neon atau senjata yang begitu OP sehingganya semua musuh mati dalam satu pukul. Tetapi ketika diberi tahu soal game dengan harga Rp 200 ribu hingga Rp 800 ribu, selalu ada saja ya mengkritik, “mahal banget itu game.”

Mengapa ini bisa terjadi? Inilah yang saya coba coba jelaskan lewat artikel ini. Seluruh poin dibawah ini hanya opini dari saya semata, tidak ada yang sifatnya benar-benar fakta. Saya hanya sedikit gatal ingin bagikan point-of-view saya atas fenomena ini yang semakin lama semakin relevan khususnya ketika ada game lokal baru yang dirilis.

Daftar isi

Bajakan masih menjadi opsi populer

Istilah “kenapa beli mahal ketika ada yang murah/gratis” masih mendarah daging di negara ini, tak hanya untuk video game tetapi juga untuk semua media hiburan lainnya. Untuk video game sendiri, mulai dari console jadul masuk pasar Indonesia, game bajakan selalu menjadi opsi yang lebih diutamakan. Tak hanya karena harga yang jauh berbeda tetapi juga prinsip masyarakat kita yang hingga saat ini berprinsip “cuman game juga” tanpa memikirkan dampaknya terhadap pihak lain khususnya untuk pembuat game itu sendiri.

Berbeda cerita dengan game free-to-play, item microtransaction yang ada di game “gratis” ini tidak miliki cara lain untuk didapatkan selain dari membeli atau mungkin menyelesaikan misi khusus tertentu. Rasa ingin yang luar biasa untuk dapatkan item tersebut berserta tidak adanya opsi kedua membuat mereka yang telah ketagihan akan sebuah game terdorong nafsunya untuk keluarkan uang. Microtranscation tak dapat dibajak karena terhubung langsung dengan akun dan akun terhubung ke server. Apabila ada kemungkinan item tersebut dapat didapatkan secara tidak legal, kemungkinan pemain juga pasti akan lebih memilih opsi tersebut, paling-paling konsekuensi yang dihadapi hanya terkena ban dari game yang dimana bisa diatasi dengan membuat akun baru.

Sudah tahu gamenya seperti apa, yakin microtransaction dapat tambahkan rasa kepuasannya

Ketika kamu membeli game, kamu pada dasarnya tidak tahu seperti apa game tersebut dan apakah kamu benar-benar akan menyukainya. Tetapi pada game free-to-play, kamu bisa langsung bermain game tanpa resiko rugi karena kamu tidak keluarkan sepeser pun untuk dapatkan akses game. Game free-to-play memberikanmu konten utama dari game dan konten lainnya sengaja dikunci agar dapat dimonetisasi. Orang yang membeli konten terkunci ini rela keluarkan uangnya untuk konten virtual tersebut karena dia tahu dia telah menyenangi game dan microtransaction ini dia beli karena percaya dapat lebih meningkatkan tingkat kesenangan dan kepuasannya akan game tersebut.

Contoh terbaru saat ini ialah Fortnite atau PUBG. Kamu bisa mainkan game tanpa keluarkan apapun sama sekali dan kamu bisa terus menang tanpa masalah. Tetapi melihat avatar-mu terbatas akan item-item bawaan game semata kadang membuatmu kamu tetap merasa kesal. Terpaksa untuk terus default dance dan gunakan skin default di Fornite membuatmu terasa sedikit malu bagaikan anak sekolah yang masih pakai handphone jadul di era smartphone canggih sekarang. Untuk meningkatkan tingkat kesenangan game, kamu percaya apabila kamu akan puas ketika kamu bisa membeli V-bucks dan membeli dansa dan kostum terbaru yang game tawarkan. Mungkin tak membuatmu langsung jago dalam bermain, tetapi setidaknya kini kamu terlihat lebih percaya diri di arena bagaikan orang yang baru saja beli baju trending terbaru.

Rasa ingin selalu menang dan pamer

Kita semua ingin menang ketika bermain video game, menang itu asik dan memuaskan hasrat kompetitifmu. Game terasa asik ketika kamu berhasil bantai tim musuh dan kamu pasti merasa kesal ketika merasakan kebalikannya. Mental yang ingin terus menang ini dimanfaatkan beberapa developer/publisher game free-to-play untuk mengubah player menjadi payer lewat item yang sifatnya mempermudah laju gameplay. Mau itu sifatnya drastis maupun minim, tiap jalan pintas atau angka boost dari item premium tersebut mencoba untuk menarik perhatianmu agar merasa lebih jago secara artifisial. Pemain dari game F2P ini ketika sudah terlalu fanatik, pasti rela untuk keluarkan uangnya karena secara tidak langsung membuatnya lebih baik di game karena desain item yang dibuat sengaja OP atau miliki aksesbilitas yang mudah dikuasai.

Ketika game mencoba menjauhi konsep pay-to-win ini, developer/publisher saat ini punya cara lain yaitu bermain dengan hasrat ingin pamermu. Kamu dibuat tertarik untuk membeli item premium game karena item tersebut miliki desain yang super keren. Mungkin item tersebut tidak berikan efek bonus stats apapun dan hanya bersifat kosmetik, tetapi layaknya kolektor pada umumnya, kamu dibuat tertarik miliki item tersebut karena rasa kepuasan memiliki sesuatu yang keren digenggamanmu serta hasrat ingin pamerkan item tersebut ke pemain lain atau teman-temanmu. Dengan maraknya sosial media sekarang, strategi ini semakin efektif untuk membuat pemain ingin membeli item kosmetik premium game.

Sifat yang terbawa dari  popularitas rental maupun warnet

Baiklah, ini mungkin akan menjadi poin paling kontroversial yang saya tulis pada artikel ini, apabila kamu merasa tidak setuju akan poin satu ini, tak ada salahnya untuk berikan perspektifmu sendiri.

Saya selalu memandang rental maupun warnet layaknya Netflix video game. Sekalinya bayar, kamu dapatkan koleksi katalog game yang rental atau warnet tersebut tawarkan, Mau game tersebut didapatkan bajakan atau tidak jadi masalah yang penting ialah kamu bisa memilih apapun game yang ingin kamu mainkan sekalinya kamu membayar untuk akses meminjam hardware disana. Kedua tempat ini menjadi opsi alternatif untuk banyak anak-anak yang tidak dapat membeli console atau PC yang dianggap terlalu mahal untuk dimiliki secara pribadi.

Lalu apa hubungannya ini dengan membeli game original? Ya, karena kedua rental dan warnet ini benar-benar telah menjadi pilihan yang lebih populer ketimbang memiliki PC atua console sendiri, secara tidak langsung orang-orang tersebut terbiasa hanya untuk membeli akses servis dan tidak perlu lagi membeli konten didalamnya. Dalam arti mereka sudah terbiasa hanya membayar akses untuk bermain, tetapi tidak untuk membeli game itu tersendiri. Maka ketika harus dipaksa membeli game terlebih dahulu yang harganya jauh lebih tinggi dari yang mereka habiskan untuk rental atau Warnet, mereka tentunya akan senggan. Game free-to-play menjadi lebih menarik banyak perhatian gamer Indonesia akan alasan tersebut.

Lalu bagaimana dengan microtransaction itu sendiri? Tanpa panjang lebar, alasan bagaimana microtransaction berhasil membujuk gamer disini ketimbang game berbayar telah dijelaskan di poin-poin diatas sebelumnya.

Tak ada yang salah dengan mengeluarkan uang untuk game free-to-play, kamu punya kebebasan atas aksimu dan tidak ada siapapun yang akan menghalangimu selain dari kamu sendiri… atau mungkin orang tuamu juga. Hanya saja saya merasa sedikit ironis melihat banyak gamer Indonesia selalu memandang video game berbayar sebagai sesuatu yang super mahal ketika mereka telah habiskan jumlah yang setara pada item premium game free-to-play yang bahkan mungkin tidak bersifat permanen sama sekali.

Bagaimana pendapatmu sendiri akan kondisi pasar game indonesia ironisnya masih seperti ini?